Soimah melanjutkan pendidikan di kota budaya, Jogja. Kiprah seninya
tak terbendung. Bahkan, melanglang ke panggung nasional. Meski namanya
kian melejit, Soimah tak lantas berubah. “Aku masih tetap ndeso,”
katanya.
Aku punya tante, namanya MM Ngatini. Dia penari yang nyantrik
atau berguru di padepokan tari Bagong Kussudiardjo, Yogyakarta. Tanteku
ini termasuk murid kesayangan Pak Bagong. Tante menikah dengan Heru
Handono Warih, keponakan Pak Bagong. Sekarang, Tante jadi pelatih tari
di padepokan tari yang kondang itu.
Nah, mengetahui bakat seniku semasa masih SD, Tante menyarankan agar
aku melanjutkan pendidikan di Jogja. Karena aku masih kecil, ketika itu
Tante hanya berkata sambil lalu saja.
Sampai suatu ketika, Ibu melahirkan Si Bungsu Sinta Fitriani tahun
1992. Tante Ngatini yang saat itu belum dikaruniai momongan, ingin
merawat Sinta. Semula, Ibu menolak. Namun Tante mengancam, “Kalau tidak
diperkenankan, Tante akan nglalu
(bunuh diri). Tante merasa putus asa karena sudah sembilan tahun menikah
belum juga punya anak. Kehadiran Sinta diharapkannya jadi pancingan.
Ibu memperkenankan dengan syarat, bila Tante sudah punya anak, adikku
akan dikembalikan. Umur enam bulan, adikku diboyong Tante. Awalnya, Ibu
ikut ke Jogja karena belum bisa pisah dari Sinta. Belakangan memang
benar, pancingan itu berhasil. Tante pun akhirnya punya dua anak.
Begitulah, sampai sekitar tiga tahun kemudian, aku tamat SMP tahun
1995. Tante kembali menyarankan aku untuk meneruskan sekolah di Jogja.
Ibu mengizinkan, sekaligus aku bisa momong dan menemani Sinta.
Mulailah aku tinggal bersama Tante di Dusun Kembaran, Kasihan, Jogja,
berada satu kompleks dengan padepokan tari Pak Bagong. Sebenarnya, aku
ingin masuk SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) jurusan tari.
Namun, jurusan tari sudah penuh. Daripada mesti menunggu setahun lagi,
aku masuk jurusan karawitan. Toh, untuk tari, aku bisa belajar di
padepokan Pak Bagong.
Langganan Juara
Di jurusan karawitan, aku belajar menabuh semua alat gamelan, mulai
saron, bonang, demung, dan lain-lain. Kadang, di padepokan aku juga ikut
menabuh gamelan, mengiringi para penari. Meski bukan cantrik
, aku juga ikut belajar tari pada Tante. Setiap jam 5 pagi, aku ikut para cantrik
belajar olah tubuh. Teknik ini dipelajari agar tubuh terasa ringan,
biar tak gampang capek saat menari. Cukup banyak tarian kreasi baru
karya Pak Bagong yang aku kuasai. Bahkan, beberapa kali aku ikut
pergelaran tari di berbagai acara, seperti Bhayangkara Emas dan Sea
Games. Saat itu, Pak Bagong, kan, sering dapat tanggapan menggelar acara
tari kolosal.
Selama di Jogja, aktivitas seniku memang kian terasah. Apalagi, Tante
rajin mendaftarkan aku ikut berbagai lomba. Aku pun sering jadi juara,
misalnya Juara 1 lomba nyanyi Bintang Karaoke Dangdut se Jateng-DIY,
Juara 1 Bintang Televisi, dan Juara Dara Ayu.
Kebisaanku di berbagai bidang seni membuatku dilirik kakak kelas
untuk ikut pergelaran wayang. Baik sebagai penabuh gamelan maupun
nembang. Beberapa kali aku ikut pentas bersama dalang wayang kulit Ki
Sutono Hadisugito dan Ki Seno. Keduanya kini dikenal sebagai dalam
walang kulit yang ngetop.
Sungguh, aku merasa beruntung tinggal bersama Tante yang amat
mendukungku. Tante selalu menyarankan agar aku bergaul dengan berbagai
komunitas seni. Mulai teater, tari, ketoprak, sampai lukis. Aku sering
menghadiri acara-acara seni. Lebih beruntung lagi, aku tinggal di
padepokan seni yang benar-benar membuatku terlibat langsung di berbagai
pergelaran.
Aku pernah diajak Otok Bima Sidharta, putra Pak Bagong yang juga
musisi tradisional. Dia bikin kelompok kesenian Pek Bung. Aku ikut
menabuh alat musik dan menyanyi. Lalu, aku diajak Mas Jaduk Ferianto di
Kua Etnika dan Sinten Remen. Juga ikut akapela Mataraman yang dipimpin
Mas Pardiman.
Kelak kemudian hari, aku juga tampil bersama Jogja Hiphop Foundation
(JHF). Ini kelompok yang unik, yaitu rap dengan bahasa Jawa. Mas Marzuki
sebagai ujung tombak hiphop mengajakku tampil bersama. Kami tampil di
berbagai acara seni di Jogja dan luar kota, bahkan sampai ke Singapura.
Tahun ini, kami akan tampil di Amerika.
Pentas Saat Hamil Tua
Di antara semua aktivitas seni yang kuikuti, yang paling menonjol,
ya, menyanyi. Namaku makin dikenal setelah Manthous memperkenalkan musik
campursari. Musik ini begitu cepat menjamur di Jogja dan sekitarnya.
Bahkan nyaris setiap kampung punya kelompok campursari, salah satunya
kelompok Arga Laras. Kebetulan pimpinan Arga Laras bertetangga dengan
dosenku di ISI (setamat SMKI, aku melanjutkan di ISI, Jurusan
Karawitan.)
Dari dosenku inilah aku kemudian ikut Arga Laras. Sebenarnya, aku mau dikontrak, tapi aku enggak mau. Aku lebih senang freelance
. Selain itu, aku ikut campursari Jampi Stres. Dengan dua kelompok
inilah aku sering tampil. Selebihnya, aku jadi bintang tamu grup-grup
lain, juga jadi bintang tamu pergelaran wayang.
Honorku meningkat terus. Mulai dari Rp 50 ribu sampai Rp 300 ribu.
Bahkan, banyak permintaan yang mau menanggap grup campursari asalkan ada
Soimah. Kalau sudah begitu, aku mendapatkan honor khusus. Tahun-tahun
itu merupakan top-topnya campursari. Hampir tiap hari aku pentas di
berbagai acara. Mulai dari hajatan sampai acara berbagai instansi.
Bahkan, jika waktunya memungkinkan, sehari bisa lebih dari satu kali
pentas. Begitu gencarnya permintaan, dalam seminggu aku bisa menolak
belasan tawaran pentas.
Tahun 2006-2007, honorku bisa mencapai Rp 5 juta. Sempat, sih, aku break
pentas saat melahirkan. Oh ya, tahun 2002 aku menikah dengan Koko, adik
kelasku di SMKI. Kami delapan tahun pacaran. Koko ini teman senasib
saat aku nyinden
dulu. Jika aku nyanyi, Koko selalu jadi bagian transportasi.
Saat usia kandungan empat bulan, aku masih ikut pentas. Bahkan, ada
orang yang fanatik sama Soimah. Dia punya nazar, saat menikah harus
mengundang Soimah. Pas dia menikah, usia kandunganku sudah masuk
sembilan bulan. Sebenarnya, aku mau menolak. Tapi, karena dia punya
nazar seperti itu, jadilah aku tetap nyanyi dalam kondisi hamil besar.
Gara-gara laris pentas berbagai acara, kuliahku sampai keteteran. Aku
sering membolos. Akhirnya, aku putus kuliah di semester enam karena
banjir tanggapan. Mau meneruskan lagi, sudah telanjur malas.
Di masa itu, aku mendapat tawaran mengisi program teve lokal. Di TVRI Jogja, aku terlibat di acara bernama Obrolan Angkring
. Aku tampil bersama pelawak Jogja antara lain Mbok Beruk, Dalijo, Joned, dan seniman lainnya.
Masih di TVRI, aku memperkuat acara Plengkung Gading
, semacam program talkshow
yang diselingi campursari. Satu lagi, aku rutin mengisi acara Pangkur Jenggleng
bersama pelawak senior Ngabdul. Untuk teve swasta Jogja TV, aku jadi pembawa acara Klinong-Klinong Campursari
bersama Dimas Tejo.
Panggung Nasional
Tidak hanya nyinden
, aku juga ikut pentas ketoprak keliling ke 14 kota bersama Komunitas
Contong. Format pertunjukannya seperti ketoprak humor. Selain menyanyi,
aku juga jadi pemain utamanya. Aku, sih, merasa semua mengalir saja.
Mungkin bisa disebut beruntung. Padahal, jika mau jujur, aku merasa
belum pintar jadi pemain ketoprak. Jarang juga anak muda sepertiku yang nyemplung
jadi pemain. Jadi, akulah yang dipilih oleh para seniman senior itu.
Kesempatan tampil bersama para senior itu kumanfaatkan untuk terus
belajar. Merekalah yang jadi guruku.
Kiprahku di berbagai aktivitas seni, rupanya menarik berbagai media
untuk meliputku. Dari sinilah namaku mulai dikenal di pentas nasional.
Imbas positifnya, aku mendapat tawaran dari Anteve untuk ikut dalam
program Seger.
Program ini bertahan sampai tiga tahun. Setelah Lebaran lalu, Seger
tak lagi tayang. Meski begitu, aku masih menerima berbagai tawaran untuk
acara teve, seperti MNC TV dan jadi bintang tamu berbagai acara stasiun
teve lain.
Kiprah di dunia hiburan nasional inilah yang membuatku harus
wira-wiri Jogja-Jakarta. Aku memang memilih untuk tetap tinggal di
Jogja. Aku baru ke Jakarta ditemani suami, bila ada syuting atau ada
order pentas. Untuk aktivitas di Jakarta, aku menyewa apartemen untuk
istirahat. Begitu syuting selesai, aku balik lagi ke Jogja, berkumpul
bersama dua anak lelakiku.
Yang cukup gres, beberapa waktu lalu aku diajak Butet Kertaredjasa,
ikut pentas Laskas Dagelan bersama para pelawak Jogja dan Jogja Hiphop
Foundation di Taman Ismail Marzuki. Wah, senang sekali pentas dua hari
sukses banget. Penontonnya membludak. Bahkan, sampai harus ada jadwal
tambahan pentas.
Mungkin gara-gara aku kerap tampil di Jakarta, teman-teman dengan
nada bercanda meledekku sebagai sinden kosmopolit. Aku membalasnya,
memang aku kini kosmopolit, tapi tetap ndesit
alias ndeso
. Ya, meski aku sudah pentas di ajang nasional, aku tetap tak bisa meninggalkanku gayaku yang ndeso
ini. Ha... ha... ha... Aku tak mau berpura-pura. Begitulah aku. Dalam berkesenian, aku akan mengalir saja. Terus mengalir…